Di tengah arus industri film Indonesia yang semakin terbuka terhadap genre-genre eksploratif, “Gowok Kamasutra Jawa” hadir sebagai film yang tak hanya menggoda dari segi judul, namun juga menyimpan kompleksitas narasi budaya yang jarang disentuh oleh sineas arus utama. Disutradarai oleh [nama sutradara], film ini bukan sekadar sajian erotika, tapi juga percobaan sinematik untuk menggali sisi sensualitas dalam bingkai nilai-nilai tradisional Jawa.
Menggugah dari Judul, Menantang dari Isi
Judulnya memang provokatif. Kata “gowok” dalam budaya Jawa merujuk pada perempuan penghibur sekaligus pendamping pria dari kalangan bangsawan, dengan fungsi sosial yang jauh lebih kompleks daripada sekadar “wanita penghibur”. Sementara “Kamasutra Jawa” adalah istilah simbolik untuk menyandingkan ajaran sensual klasik India dengan kehalusan budaya Jawa yang penuh tata krama dan spiritualitas. Gabungan keduanya langsung menempatkan film ini dalam zona abu-abu antara seni dan sensasi.
Namun, bagi mereka yang datang dengan ekspektasi film erotis belaka, Gowok Kamasutra Jawa bisa jadi terasa lebih lambat dan kontemplatif. Film ini tidak mengandalkan eksploitasi tubuh sebagai jualan utama. Alih-alih, ia membangun atmosfer lewat simbolisme, dialog lirih, dan tata gambar yang bernuansa remang—sering kali menyandingkan tubuh manusia dengan lanskap alam Jawa yang mistis dan tenang.
Cerita yang Mencoba Mendobrak
Cerita berpusat pada tokoh Ningsih (diperankan oleh [nama aktris]), seorang perempuan muda dari desa yang “diangkat” menjadi gowok di lingkungan keraton oleh seorang guru spiritual. Di sana, ia belajar bukan hanya soal seni merayu, tetapi juga tentang filosofi tubuh dan jiwa, relasi kekuasaan, hingga hakikat cinta dan pengabdian.
Perjalanan Ningsih perlahan memperlihatkan sisi gelap dari sistem sosial feodal yang membungkus dominasi lelaki dengan kata-kata halus. Lewat perspektif feminis yang samar namun terasa, film ini menyodorkan kritik terhadap bagaimana budaya bisa memelihara ketimpangan tanpa disadari. Sutradara tampaknya ingin menyentil: apa benar semua yang kita sebut “adat” adalah warisan luhur? Atau jangan-jangan sebagian darinya adalah pembenaran terhadap dominasi?
Gaya Visual dan Nada Puitik
Sinematografinya patut diapresiasi. Penggunaan cahaya natural, warna-warna tanah, serta komposisi statis yang menyerupai lukisan wayang atau relief candi Borobudur menciptakan suasana meditatif. Musik gamelan yang mengalun perlahan menambah dimensi spiritual film ini, membedakannya dari film erotik murahan yang hanya mengandalkan gairah instan.
Dialog yang digunakan pun kerap bersifat metaforis. Bahasa Jawa krama inggil hadir sebagai lapisan yang memperdalam kesan sakral sekaligus menjauhkan film dari vulgaritas verbal. Tak heran jika sebagian penonton merasa terasing atau “tidak cukup paham” terhadap apa yang sebenarnya ingin disampaikan.
Kontroversi Tak Terelakkan
Sejak diumumkan, film ini memang tak lepas dari kontroversi. Beberapa kelompok menyebutnya melecehkan budaya, sementara lainnya menyebutnya berani dan perlu. Namun jika ditilik lebih jauh, film ini justru berusaha menyelami warisan budaya dengan cara yang jujur: tidak mengkultuskan masa lalu, tapi juga tidak sepenuhnya menolak nilai-nilai tradisi.
Yang menjadi catatan, film ini memang bukan untuk semua kalangan. Ia menuntut kesabaran, pemahaman konteks budaya Jawa, serta keterbukaan pikiran terhadap narasi yang menggugah sensualitas tanpa menjadi cabul.