“Squid Game” kembali dengan musim ketiganya—lebih kelam, lebih politis, dan lebih mengguncang dari sebelumnya. Tapi apakah serial ini masih bisa mempertahankan ruhnya yang orisinal, atau justru terjebak dalam jebakan popularitas globalnya sendiri?
Sejak pertama kali tayang pada 2021, Squid Game tak hanya mencetak sejarah sebagai serial Korea paling fenomenal, tetapi juga menjadi simbol kritik sosial kontemporer yang menyayat. Musim ketiga hadir dengan ekspektasi tinggi—dan untungnya, sebagian besar berhasil dijawab dengan berani oleh sutradara Hwang Dong-hyuk.
Namun, kali ini penontonnya tidak lagi hanya dibawa ke arena permainan berdarah. Musim ketiga menggali lebih dalam: ke ruang-ruang gelap kekuasaan, kapitalisme global, dan harga yang harus dibayar untuk membalas dendam.
Kembali ke Arena, Tapi Tidak Sama
Cerita dibuka tak lama setelah peristiwa penutup musim kedua. Seong Gi-hun (Lee Jung-jae), kini sepenuhnya berubah, kembali ke Korea setelah menyusup ke jaringan VIP internasional. Tidak lagi sebagai peserta, tetapi sebagai pemburu sistem yang menciptakan permainan mematikan itu.
Namun, alih-alih menempuh jalur hukum, Gi-hun terjerumus ke dalam dunia yang lebih kompleks. Ia kini bermain di level yang lebih tinggi—politik, diplomasi, dan kekuatan uang. Permainan tak lagi sekadar fisik, tetapi penuh siasat, pengkhianatan, dan strategi perang dingin.
Dalam sebuah momen yang menggetarkan, Gi-hun berujar:
“Mereka pikir ini semua hanya permainan. Tapi kita sedang menyusun ulang dunia.”
Dan memang, musim ini lebih terasa seperti Game of Thrones versi distopia Korea ketimbang survival thriller biasa.
Permainan Baru, Aturan Baru
Musim ketiga memperkenalkan varian permainan tradisional dari negara-negara lain: Taktik boneka Rusia, permainan logika Jepang, dan teka-teki moral dari Brasil, semuanya dimasukkan ke dalam “arena global” yang dibentuk oleh para VIP internasional.
Di sinilah Squid Game 3 berani keluar dari zona nyamannya. Konsep permainan anak-anak berubah menjadi simbolisasi ideologi: setiap permainan mewakili konflik antara kekuasaan dan kemanusiaan. Tidak semua penonton mungkin nyaman, tetapi pendekatan ini memberikan lapisan baru yang lebih matang dan filosofis.
Karakter Baru yang Mencuri Perhatian
Selain Gi-hun, hadir juga sosok baru yang mencolok: Park Ji-yeon (Kim Tae-ri), mantan tentara yang menjadi informan rahasia dalam sistem Squid Game. Sosoknya kuat, penuh trauma, tapi tetap memanusiakan makna bertahan hidup. Chemistry antara Ji-yeon dan Gi-hun terasa organik dan tidak dipaksakan.
Tak kalah mencolok adalah VIP dari Timur Tengah, yang diam-diam mengatur strategi geopolitik di balik “permainan”. Penambahan karakter-karakter dari latar belakang beragam ini memperluas cakupan cerita dan menegaskan bahwa Squid Game kini adalah metafora dunia secara menyeluruh.
Visual dan Narasi: Lebih Gelap, Lebih Elegan
Secara sinematik, musim ini adalah yang terbaik sejauh ini. Palet warna yang semula mencolok kini diganti dengan tone yang lebih dingin, industrial, dan depresif. Sutradara Hwang tampaknya ingin menggarisbawahi bahwa ini bukan lagi soal bertahan hidup, tapi soal eksistensi manusia dalam sistem yang korup.
Musik latar juga lebih subtil namun menghantui. Tidak ada lagi kejutan bombastis seperti musim pertama—semuanya terasa lebih dewasa dan lambat, tapi tepat sasaran.
Kritik Sosial yang Makin Menohok
Jika musim pertama menyentil soal utang dan kelas sosial, dan musim kedua menggali trauma personal dan korupsi lembaga, maka musim ketiga ini menggugat sesuatu yang lebih besar: tatanan dunia itu sendiri.
Bagaimana kekayaan, kekuasaan, dan teknologi disalahgunakan bukan hanya untuk bertahan, tetapi untuk memanipulasi takdir bangsa lain. Ada sindiran tajam terhadap sistem politik internasional, bahkan terhadap lembaga-lembaga yang mengaku “netral”.